- Back to Home »
- Konversi Cerpen ke Naskah Drama
Posted by : Titania
Rabu, 11 Juni 2014
Saya akan mengonversi cerpen karya Sakti Wibowo yang berjudul "Surat Cinta Buat Spiderman"
Berikut Cerpennya..
Surat
Cinta Buat Spiderman
Oleh: Sakti Wibowo
Yang saya hormati,
Nicky di tempat.
Assalamualaikum. . .
Ini surat keduaku, Nick. . . Semoga
kamu tidak bosan untuk membaca. Sesungguhnya aku bangga terhadapmu.
Semangatmu dalam mendakwahkan Islam sungguh luar biasa. Kau adalah
sosok generasi muda yang pantas untuk ditiru.
Hanya saja, Nick... ini bukan berarti
aku meremehkan semangat, lho...Toh, semangat dan keikhlasan saja yang
dinilai Allah dalam dakwah. Berhasil tidaknya dakwah itu tidak
mempengaruhi besar kecilnya pahala yang telah dijanjikan-Nya.
Oke,Nick... barangkali ini dulu
suratku, soalnya aku kuatir kau tak punya waktu kalau aku
berpanjang-panjang menulis surat. Jangan kiranya suratku ini membuat
kamu hilang semangat dalam dakwah. Tetap berjuang Nick Sayang.
Wassalam
Dewa
***
Ini surat kedua,
namun belum juga si Dewa Mabuk itu menjelaskan identitas dirinya.
Bete kan?
“Kali aja dia naksir kau,Nick. . .!”
komentar Nura, temn sekelas Nicky yang sebulan lalu mengikuti jejak
Nicky, memakai jilbab.
Nicky cemberut.
“Yang bener aja! Ada angin apa dia
naksir-naksir aku segala? Lagian, kalau bener dia naksir, dia harus
siap-siap kecewa.”
“Lho, kenapa?” Nura cepat menukas
lagi. “Lo udah punya yang lain, ya? Jangan bilang karena pacaran
itu nggak boleh, Nick.... Kalau masalahnya itu, bisa aja kan kalian
langsung menikah?”
“Bukan cuma itu,” jawab Nick. “Ia
juga nggak fair. Kirim surat itu kan sama saja dengan bertamu. Orang
bertamu tentu saja harus mengenalkan diri.”
“Eh, bukannya dia udah ngenalin
diri? Tuh.... namanya Dewa, kan?”
“Yee ... emangnya cukup nama doang?”
“Terus, apa lagi, dong?” Nura
bengong. “Tanggal lahir? Nama orang tua? Sekolah? Hobi?” Kali ini
ditambah dengan aksi menepuk kening, “Lo kayak orang mau sensus
aja. Jangan-jangan malah lo yang pingin tahu lebih banyak tentang
Dewa.”
“Yah... penginnya sih gitu.”
Nura tambah melongo...
Nick mengedip-ngedipkan matanya.
“Penginnya, siiih....! Bagaimanapun kan wajar kalau aku pengin tahu
orang kayak apa yang berani-beraninya naksir aku. Ini sih bener-bener
keisengan orang, deh. Dia juga sebenarnya hanya orang-orang kita aja,
Cuma pake nama samaran. Tidak berani memakai nama terang itu saja
sudah menjadi indikasi yang kurang baik.”
“Teman-teman kita? Lo yakin? Atau
... Cuma menebak-nebak aja?”
“Tentu saja dia teman kita. Soalnya
dia kenal betul siapa aku. Dia tahu aktivitasku. Teman kita mana ada
yang namanya Dewa? Jelas ii Cuma nama samaran aja. Dia punya
maksud-maksud lain selain pesan dalam surat itu. Ya... barangkali
benar, dia memang naksir.”
Kali ini, Nura memutuskan untuk tidak
melongo, melainkan menghela napas. “Terlepas dari benar tidaknya
tindakan si Dewa Mabuk itu, sebenarnya apa yang ia katakan dalam
surat itu tidak salah,” simpulnya. “Dakwah tidak sekadar
membutuhkan semangat. Seperti orang berjualan baju, tentu lebih
bergengsi kalau baju dipak dalam tempat yang bagus, dipalstikin
dengan plastik yang bagus. Bukan begitu?”
“Maksud kamu?” tanya Nicky.
“Maksudnya,” sambar Desi, “akan
lebih baik kalau lo dipalstikin.” Lantas, tanpa merasa berdosa,
desi menyeruput es campurnya.
“Nyamber aja kerja kau, Des,” ujar
Nicky gondok. “Kau bilang udah mau tobat mulai bulan depan, eh ...
kebiasaan nyamber nggak juga kau kurangin.”
Desi menjulurkan lidah membersihkan
bibirnya dari es campur. “Pertama,” katanya seraya menunjukkan
jari telunjuknya, “Bulan depan masih lama.”
“Dan ... kedua?” kali ini Nura.
“Bulan depan masih lama.” Desi
berkacak pinggang dengan gaya jumawa. Mulutnya bersiul-siul tanpa
suara.
“Huuu... Dasar orang pelit.
Alasannya juga pake pelit. Dasar pelit lo itu udah bawaan orok
kali....”
“Tunggu...! Tunggu...!” Nick cepat
merentangkan tangan persis aba-aba wasit dalam acara fighter
sedang melerai dua fighternya. “Lebih baik, bakat
berantem kaliandisalurkan di arena aja, deh, jangan di sini.”
Patuh, dua
‘fighter’ itu menuju sudut arena masing-masing.
“Sekarang,”
lanjut Nick, “kamu jelasin deh, Ra... sebenarnya maksud kamu tadi
apa.”
“Oke......”
Nura berdehem.
Belum sempat Nura
melanjutkan, kembali Desi nyamber, “Pan sudah aye bilang....”
“Ssst...!”
buru Nura seraya menyilangkan jarinya tepat di depan hidung Desi.
Desi urung
mengulang pendapatnya tadi tentang saran Nick diplastikin aja. Tapi,
asal tahu aja, Desi berhenti bukan karena silang tangan Nura, tapi
lebih karena keharusan ia segera mengambil kertas tissue dan mengelap
wajahnya dari rinai desis Nura.
“Maksud gue,”
lanjut Nura setelah berhasil menundukkan Desi, “lo harus mengemas
dakwah lo sebaik mungkin. Bekal semangat aja tidak cukup. Berilah
daya pikat pada dakwah tersebut.”
“Dengan?”
“Plastik yang
baik...!” sambar Desi sambil terkekeh. Ia merasa menang kali ini
karena telah siaga menghindari desisan maut Nura.
Tapi ... ia justru
ternganga oleh sebab kali ini Nura malah memberi aplaus. “Tepat...!”
“Aku?” tunjuk
Nicky pada dirinya sendiri.
“Kemasan lo
harus lebih menarik. Penampilan, Nick....!”
“Maksud kamu,aku
kudu dandan,gitu?”
“Bukan dandan,
Nick. Memangnya penampilan itu hanya sekadar berdandan aja? Banyak
hal lain. Contoh gampang aja, kerapian. ”
“Betul,
Nick...!” sambung Desi. Dia masih terharu dengan kebaikan Nura
barusan. “Di mana-mana, barang yang diplastikin itu lebih terlihat
rapi. Ya, Ra?” ia meminta persetujuan dari Nura atas tema
kalimatnya yang tak juga bergeser dari plastik dan plastik.
Nura ngelirik
sebentar, “Lo ngebaik-baikin gue pasti lo punya maksud lain, deh. .
.!”
“Udaaah. . .”
Nicky mengangkat tangandengan telunjuk lurus ke angkasa, gayanya bak
Pak Polisi sedang memberi tembakan peringatan.
“Iya, ini juga
udah,” balas Nura. “Eh, kembali ke masalah kerapian tadi, Nick.
Yaaa... ini gua ngomong sebagai temen, artinya bener-bener karena gue
pengin lo perbaikin kesalahan lo.”
“Kesalahan apa?
Kamu bilang jujur aja deh sama aku. Pake basa-basi kamu ngalahin
orang Solo.”
“Oke, tapi lo
janji nggak marah,ya?”
“Lho, emangnya
selama ini kamu penah lihat aku marah?”
“Brrr. . .!”
Nura dan Desi sontak menggembungkan pipinya dan saling berpandangan
dengan ekspresi tidak mengerti: Nicky nyadar ama ngomongannya enggak,
sih?
***
Apa yang dibilang
Nura memang benar. Paling tidak, Nicky terus memikirkannya malam itu.
Kerapian. Hal yang tak pernah dipikirkannya selama ini.
“Tata yang bener
piringnya, Nik,” pesan ibunya selalu setiap ia usai mencuci
piring.Tapi, begitulah. Ia jarang hirau. Piring bersih baginya sudah
cukup. Daripada buat merapikan rak –yang toh tak sampai sehari juga
sudah berantakan lagi-Ia lebih suka ngepel, menyapu lantai atau
pekerjaan lainnya yang menurutnya lebih urgent!
“Niken, kamu
nggak nyetrika seragam sekolah?” tanya ibunya lain waktu, namun
seperti biasa, ia hanya mengedikkan bahu. “Nggak begitu kusut kok,
Bu. Nick sekarang mau ngajar TPA, kasihan nggak ada orang. Lagian
kusut atau tidaknya baju Nick, tidak akan mengurangi semangat Nick
buat belajar.”
Ibu hanya
mengangkat alis dan ber- “ooo” panjang.
Nicky, nama
aslinya Niken Saraswati. Entah darimana ia mewarisi nama Nicky, dan
entah darimana pula sifat cuek dan keras semacam ini. Kendati tak
begitu berada, keluarga Nicky termasuk keluarga bahagia dan harmonis.
Niicky anak pertama, punya adik yang masih bayi. Ayah Nicky karyawan
biasa sebuah perusahaan elektronik.
Sejak dua bulan
lalu, Nicky memakai jilbab setelah sebelumnya ia tertarik untuk
terlibat aktif dalam kegiatan Rohis sekolahnya. Seperti biasa, sang
ibu hanya menyerahkan keputusan itu pada Nicky.
“Kamu sudah
pikirkan pilihanmu?”
“Sudah, Bu.
Hasilnya tidak ada alasan bagi Nick untuk tidak memakai jilbab.”
“Baiklah. . .
Ibu bisa mengerti.”
“Hanya itu?”
alis Nick terangkat. “Kok, sepertinya Ibu kurang suka?”
Ibu hanya
meliriknya sebentar lantas kembali pada pekerjaannya melipat baju.
“Jangan lantas disimpulkan begitu. Orang tua mana yang tidak suka
kalau anaknya melaksanakan perintah agama?”
“Tapi. . “
“Tapi . . Ibu
hanya ingin wanti-wanti bahwa kau harus menjaga citra jilbabmu itu
kalau kau memang sudah memutuskan untuk memakainya. Pertama, kau tak
bisa seenaknya buka tutup jilbab. Kau tak boleh melepaskannya lagi
kalau sebulan kemudian kau merasa bosan dan memakainya lagi pada saat
kau suka.”
“Tentu saja
tidak.Saya kan tidak memakai jilbab karena mengikuti tren,
tetapi....”
“Itu bagus.
Artinya, kau menyadari hal ini sebelum kau memutuskan. Kalau kau
sudah putuskan memakai jilbab, kau juga harus memperbaiki sikapmu
agar tidak membuat citra buruk bagi orang berjilbab.”
Waktu itu Nick
mendengus.
“Pertama,”
lanjut Ibu, masih sambil melipat baju, “Kau tidak lagi boleh
tertawa lebar sembarangan. Kedua, kau harus mengurangi kebiasaanmu
shalat ditunda-tunda. . . ” dan masih banyak lagi pesan- pesan ibu
untuknya.
“Kenapa?” Nick
menyelak. “Pertama, tertawa itu bukan hal yang dilarang agama,”
bantahnya, “dan kedua, tentang menunda shalat itu..... karena.....”
Untunglah Ibu
sangat demokratis. Beliau hanya tersenyum melihat putri sulungnya
itu. Memang begitulah watak Nick. Lantas, beliau bangkit mengangkat
setumpuk baju seraya mengucak kepala Nick. “Bantu Ibu merapikan
kamar, yuk....!”
Begitulah. . . .
Sementara itu,
tentang surat cinta dari Dewa Mabuk itu memang tidak ditunjukkannya
pada Ibu. Tentu saja Nick malu. Entah bagaimana komentar Ibu kalau
beliau tahu ada orang yang mulai mengomentari ‘kerapian’ Nick
yang selama ini selalu disindir-sinir Ibu. Tapi, bukan berarti Nick
tidak mendiskusikannya dengan ibunya, lho...! Siang itu, sepulang
Nick dari sekolah, seperti biasa, ia membantu ibunya menyelesaikan
pesanan bedcover sebuah toko meubel.
“Tentu saja
seorang muslim itu dituntut untuk rapi, Nick...!” komentar Ibu
setelah Nick panjang lebar membuka diskusi.
“Tapi, apa itu
tidak berlebihan, Bu? Islam itu kan mudah. Kenapa harus dibuat sulit
atas nama jilbab, dakwah dan sebagainya? Kalau beban seorang jilbaber
harus seberat itu; tampil anteng, bersih, rapi, indah... apakah itu
tidak justru mengendurkan niat orang-orang untuk berjilbab? Ayat dan
hadistnya kan jelas jilbab, pakaian yang menutup aurat, tanpa
embel-embel bersih dari kotor dan noda, disetrika sampai licin macem
jalan tol.
Lagipula masalah
rapi atau indah itu kan sesuatu yang relatif, nomor-nomor tidak
terukur dan tak ada batasan yang jelas untuk masing-masing orang.
Apalagi, rincianya tidak disebutkan dalam hadist ataupun ayat
Al-Quran. Misalnya yang rapi itu mana dan yang nggak rapi itu yang
mana.”
“Ah masa?”
goda Ibu. “Kan ada hadist tentang Allah itu indah dan menyukai
keindahan, tentang anjuran Rasulullah pada seorang istri agar
merapikan diri di hadapan suami supaya sejuk dipandang.”
“Nah.... itulah,
Bu. Muslimah memang diwajibkan tampil cantik di hadapan suaminya.
Tapi jangan sampai salah penempatan. Memang dianjurkan berdandan di
dalam rumah. Memang dianjurkan memakai wangi-wangian saat duduk
bersama suami.
Tapi, bukankah
bila keluar ia bisa mengundang fitnah dan derajatnya sama dengan
wanita pezina? Ada beberapa hal yang hanya berlaku dalam keluarga dan
tidak untuk semua tempat. Ini yang sering dipukul rata.”
Ya ampuuun ...
Nick kalau sudah orasi nggak tanggung-tanggung, nggak ngelihat siapa
lawan bicaranya. Bener-bener, deh ...
“Bukan terus
diartikan begitu, Nik,” Ibu berusaha menurunkan suaranya. “Hal
pertama yang merugikan apalagi seorang muslimah apalagi aktivis
dakwah tampil alakadarnya, adalah kesan bahwa Islam tidak menghargai
kerapian dan penampilan. Islam itu nyaris disamakan dengan kekumuhan
dan kemasabodohan. Hal kedua, orang akan tidak bersimpati pada orang
tersebut karena semau gue dan terkesan tidak peduli pada diri
sendiri. Kan ada, tuh, lagu zaman dulu yang syairnya begini :
bagaimana kau menyayangiku sedang dirimu tak kau sayang. Mabuk
lagiii.......”
Nick tambah
manyun. Sebenarnya ia pengin nyodok dengan argumen lain tentang musik
yang begini dan begitu serta lagu yang juga begini dan begitu,
sebagaimana yang akhir-akhir ini mencari tema hangat perbincangan di
Rohis. Tetapi Nick mengurungkan niatnya itu karena ia khawatir tema
pembicaraan akan beralih sebelum tema pertama selesai dibahas.
“Ibu... kan
Islam menganjurkan untuk melihat apa yang disampaikan dan bukan siapa
yang menyampaikan?”
Ibu menghela
napas. “Sudahlah. Sebaiknya kembalikan saja pada hatimu. Semua amal
itu kan kembali pada niat. Termasuk niat kamu untuk tidak pelu tampil
rapi itu. Kalau alasanmu itu untuk menjaga diri dari fitnah, maka
kamu akan mendapat pahala darinya. Tapi kalau niatmu karena cuek dan
masa bodoh apalagi karena malas, maka kau akan mendapat balasan
darinya pula.”
***
Ternyata, ucapan
Ibu yang sederhana itu cukup telak mengena di hati Nick. Entahlah, ia
mulai merasa ucapan orang tuanya itu benar adanya bahwa alasan yang
lebih tepat untuk hatinya adalah apa yang disebut terakhir oleh Ibu.
“Pertama,”
katanya pada Nura, “Aku memang kudu memperhatikan kerapian.”
“Yes...!
Horeee...! Artinya, gua nggak perlu kuatir lagi kalau lo pinjem buku
gue.”
“Apa?”
“Lo tahu tidak?
Gue tuh sebenernya sebel ama lo gara-gara kemarin lo pinjem novel
Islami milik gue. Itu buku baru gue beli. Belum ada yang pinjem
selain lo, jadi jelas modal gue belum balik.”
“Hubungannya?”
“Lah... lo
pura-pura nggak ngerti lagi. Pan lo tahu sendiri, itu buku udah dekil
gara-gara jatuh ke tangan lo.”
Je-elah...! Nicky
tertegun dan diam cukup lama. Rasanya ingin ia meminta maaf pada
Nura, tapi...”
“Sudahlah! Gue
tahu lo mau minta maaf. Gue udah maafin karena gue tahu lo sahabat
gue. Cumaaa.....”
“Iya, aku
ngerti. Tapi.....”
Sejak hari itu,
Nicky berusaha lebih jeli memperhatikan kerapian. Ia semakin rewel
memperhatikan kerapian.Ia semakin rewel dengan setrikaan, dengan noda
tinta pada saku baju, pada noda saos pada lengan atau ujung
jilbabnya, dengan coretan-coretan tidak proporsional pada pinggir
buku catatannya ataupun mejanya di sekolah, dengan....
***
Nick Sayang... Kau
tahu tentang kebun bunga yang tiba-tiba diboyong ke podium oleh
seorang daiyah tempo hari?
Bengong, Nick
mendekatkan wajahnya pada kertas surat itu. Surat dari Dewa kali ini
cukup tebal. Berlembar-lembar.
“Woi... Dewa
Mabuk itu punya foto lo, Nick...!” tunjuk Nura.
Benar! Surat itu
ditulis dengan komputer, dan di lembar kedua turut tercetak gambar
Nick saat mengisi acara mentoring untuk adik tingkatnya di aula
sekolah beberapa hari lalu.
“Kebun Bunga?”
“hahahaha.....!”
Desi tak kuasa menahan tawa. Pahamlah mereka dengan maksud Dewa akan
kebun bunga tersebut.Seminggu lalu memang ada peristiwa lucu seputar
pakaian Nick.
Bukan.... bukan
tidak disetrika. Licin habis malah, karena kali ini Nicky perhatian
betul pada pakaian dan rajin menyetrikanya. Tapi, Kawan, coba lihat
paduan warna itu. Nick memakai gamis bermotif bunga mawar kecil-kecil
yang tengah mekar segar, merah menyala di beberapa bagian. Lantas,
rok model clock yang ia kenakan bukan lagi senada tapi sepaham
dengan sang gamis. Bak dua kapling bunga berdampingan karena rok mini
itu bermotif kembang ceplok bunga alamanda dengan dasar krem. Kelopak
alamanda bewarna kuning itu terpangpang besar-besar dan jarang-jarang
di seluruh permukaan
“Tapi....”
Nicky tercekat.
“Untung nggak
ada yang punya inisiatif menyiram bunga itu agar tetap segar ya,
Nick?” lanjut Desi dengan ngakak.
“Tapi.... siapa
gerangan si Dewa Mabuk itu?”
“Yup. Padahal,
acara ini hanya khusus putri, kan?”
“Mungkin dia
menyamar menjadi....”
“Spiderman...!”
selak Desi yang kali ini terbebas dari desisan Nura.
***
Sejak hari itu
Nick tak mau lagi mengenakan pakaian dengan motif bunganya. Ia kini
getol mengajak Nura dan Desi ke pasar untuk membeli pakaian dengan
warna-warna polos, tanpa motif.
“Lo suka bener
warna-warna terang begini, Nick...?” komentar Nura saat Nicky
memilih sebuah gamis warna merah cabe.
“Bukannya seneng
yang seger-seger begitu, Nur. Cuma, apa nggak bosen kalau semua warna
pucat pastel seperti saran kamu?’
Tapi, memang benar
sih kata Nick. Dari kemarin, ia sudah menghindari warna pucat.
Soalnya, Desi protes habis. “Kehabisan bahan pewarna, ya, Nick?
Baju lo coklat susu, bawahannya coklat kayu, dan jilbabnya coklat
kardus. Kulit lo aja yang coklat gosong. Kalo lo berdiri di samping
tumpukan kardus, lo udah nggak ada bedanya, deh.....”
Sebenernya Nick
sudah amat sangat capek dengan semua itu. Ia capek diledek-ledek.
Apalagi kalau datang surat dari Dewa yang menurutnya seperti wasit
busananya. Selalu saja ada yang dicela. Sesekali memuji dikit
emangnya kenapa, sih?
Dan, sebulan
kemudian, surat dari Dewa itu datang lagi.
“Nona Spiderman
yang baik ... semakin hari, aku semakin bangga padamu. Aku melihat
potensi besar pada dirimu, yakni potensi untuk menjadi orang besar.”
Desi ngakak
membaca surat itu yang langsung dihadiahi desisan maut Nura. “Lo
kenapa pake ketawa mengguncang dunia begitu? Kemarin lo bilang bulan
depan masih lama. Sekarang itu nggak bisa lo pake jadi alasan.”
Nicky hanya diam,
berusaha merenung sebelum melanjutkan membaca ke alinea berikutnya.
“Ra, gimana gua
nggak ketawa, coba? Ini ... yang bener aja! Nona Spiderman?
Spidergirl, kali? Eh, bukan. .. Spiderwoman, diing ...!”
“Sudahlah ...!”
komentar Nick lesu. “Apa yang ditulis Dewa Mabuk itu memang bener.”
“O-o?” Nura
bengong. “Maksud lo?”
“Ya ... benar
kalau Nicky ini Spiderman ... eh, Spider apa, ya?”
Sebel, Nura
melirik Desi. “Kebiasaan lo nyamber harusnya udah kena seprit,
dah..! Ngasih kesempatan orang lain bicara ngapa? Bulan depan tinggal
dua hari lo masih juga belum belajar tobat.”
“Yeee...!”
“Ya...!”
potong Nick, “kalimat Dewa itu memang benar. Aku memang berpotensi
menjadi orang besar.”
Olala...! Dua
karib itu menganga tanpa suara. Nicky sadar ama ucapannya nggak, sih?
“Tapi, gue masih
curiga sama julukan Nona Spider itu, Nick. Maksudnya apa sih?”
Nicky
mengetuk-ngetuk keningnya tanda berpikir keras. “Mungkin...
maksudnya aku ini orang yang hebat, kayak Spiderman juga kan hebat,
tuh..!”
“Ah, lo
bisa-bisanya ngarang aja, deh,” Nura menghadiahinya dengan
tonjokan. Ia segera melirik Desi. “Lo tahu nggak? Tumben lo nggak
nyamber-nyamber lagi?”
Rupanya Nicky juga
merasa heran dengan ‘keantengan’ Desi kali ini. Gadis dengan
lesung pipit yang tengah ambil ancang-ancang untuk mulai bejilbab dua
hari lagi itu, tampak mengerutkan keningnya. Matanya menatap tajam
wajah Nicky.
“Ada apa, sih?”
Desi tampak
serius. “Sebentar.” Tangannya terangkat dengan gerakan yang tidak
teratur. “Coba... kalau misalnya di wajah lo itu ada kerut-kerut
begitu... ya, benar begitu. Terus, umpamanya kerut-kerut itu seperti
garis-garis, atau... eh, iya, garis-garis aja. Terus,coba paduin sama
foto lo yang di scan si Dewa di dalam surat itu.”
Dua pasang mata
itu segera memburu gambar kabur yang dicetak dengan tinta murahan
oleh Dewa. Ya... tepat. Seorang gadis dengan gamis bewarna biru
terang dan jilbab merah menyala tengah berdiri di atas podium. Tangan
kanannya terkepal dan diangkat seperti tengah meneriakkan: Allahu
Akbar...!
Tapi... keduanya
masih belum ‘ngeh’.
“Seharusnya kan
dari sini keluar jaring ya, Nick,” kata Desi sambil menunjuk tangan
dalam foto itu seraya membayangkan Spiderman tengah bergelantungan di
dinding luar gedung-gedung kota.
“Apa?
Jadiiii....”
“Eh.. tapi,
siapa sebenarnya si Dewa Mabuk itu?” tanya Nura.
Desi mendehem.
“Yah, Spiderman kan nggak diwajibkan untuk selalu mengetahui siapa
musuhnya.” Lantas, mulutnya mengerucut, bersiul-siul tanpa suara
***
Kali ini selamat membaca konversiannya.. :)
Konversi Cerpen "Surat Cinta Buat Spiderman"
Seorang siswi sekolah bernama Niken
Saraswati atau yang akrab dipanggil Nicky ini terkenal dengan
semangat dakwahnya. Ia mulai memakai jilbab sejak dua bulan lalu.
Meskipun sifatnya cuek dan keras, namun keluarga Nicky termasuk
keluarga bahagia dan harmonis. Nicky anak pertama, punya satu adik
masih bayi. Ayah Nicky karyawan biasa sebuah perusahaan elektronik.
Hari ini Nicky sedang membaca surat. Surat yang ia dapatkan dari
seseorang yang tidak diketahui identitasnya dan kini ia membaca surat
itu bersama sahabatnya, Nura, yang sebulan lau mengikuti jejak Nicky
memakai jilbab.
Nura : Ciee... dapat surat lagi nih?
Nicky : (hanya diam, cuek)
Nura : Bacain dong. . .
Nicky : Baca aja sendiri
Nura : Hehehe. . Ehm. . Ehm. . Yang
saya hormati Nicky di tempat. Assalamualaikum. . .
Nicky : Wa’alaikumsalam.
Nura : Hihi jangan cemberut gitu dong.
Nih dilanjutin ya. . Ini surat keduaku, Nick. . . Semoga kamu
tidak bosan untuk membaca. Sesungguhnya aku bangga terhadapmu.
Semangatmu dalam mendakwahkan Islam sungguh luar biasa. Kau adalah
sosok generasi muda yang pantas untuk ditiru.Hanya saja, Nick... ini
bukan berarti aku meremehkan semangat, lho...Toh, semangat dan
keikhlasan saja yang dinilai Allah dalam dakwah. Berhasil tidaknya
dakwah itu tidak mempengaruhi besar kecilnya pahala yang telah
dijanjikan-Nya.Oke,Nick... barangkali ini dulu suratku, soalnya aku
kuatir kau tak punya waktu kalau aku berpanjang-panjang menulis
surat. Jangan kiranya suratku ini membuat kamu hilang semangat dalam
dakwah. Tetap berjuang Nick Sayang.Wassalam.Dewa.
Nicky : Ini surat keduanya, tapi sampai
sekarang pun dia belum mau kasih tau indentitasnya.
Nura : Kali aja dia naksir kau,Nick. .
.!
Nicky : Yang bener aja! Ada angin apa dia naksir-naksir aku segala?
Lagian, kalau bener dia naksir, dia harus siap-siap kecewa.
(cemberut)
Nura :Lho, kenapa? Lo udah punya yang lain, ya? Jangan bilang karena
pacaran itu nggak boleh, Nick.... Kalau masalahnya itu, bisa aja kan
kalian langsung menikah?
Nicky : Bukan cuma itu,ia juga nggak fair. Kirim surat itu kan sama
saja dengan bertamu. Orang bertamu tentu saja harus mengenalkan diri.
Nura : Eh, bukannya dia udah ngenalin
diri? Tuh.... namanya Dewa, kan?
Nicky :Yee ... emangnya cukup nama
doang?
Nura : Terus, apa lagi, dong? (bingung)Tanggal lahir? Nama orang tua?
Sekolah? Hobi? Lo kayak orang mau sensus aja. Jangan-jangan malah lo
yang pingin tahu lebih banyak tentang Dewa.
Nicky :Yah... penginnya sih gitu.
Nura : Hahh??
Nicky :Penginnya, siiih....! Bagaimanapun kan wajar kalau aku pengin
tahu orang kayak apa yang berani-beraninya naksir aku. Ini sih
bener-bener keisengan orang, deh. Dia juga sebenarnya hanya
orang-orang kita aja, Cuma pake nama samaran. Tidak berani memakai
nama terang itu saja sudah menjadi indikasi yang kurang baik.
Nura : Teman-teman kita? Lo yakin? Atau
... Cuma menebak-nebak aja?
Nicky : Tentu saja dia teman kita. Soalnya dia kenal betul siapa aku.
Dia tahu aktivitasku. Teman kita mana ada yang namanya Dewa? Jelas ii
Cuma nama samaran aja. Dia punya maksud-maksud lain selain pesan
dalam surat itu. Ya... barangkali benar, dia memang naksir.
Nura : Haahh~~ (menghela nafas) Terlepas dari benar tidaknya tindakan
si Dewa Mabuk itu, sebenarnya apa yang ia katakan dalam surat itu
tidak salah. Dakwah tidak sekadar membutuhkan semangat. Seperti orang
berjualan baju, tentu lebih bergengsi kalau baju dipak dalam tempat
yang bagus, dipalstikin dengan plastik yang bagus. Bukan begitu?
Nicky :Maksud kamu?
Desi :(tiba-tiba datang)Maksudnya, akan lebih baik kalau lo
dipalstikin.Srrutt sruut (menyeruput es campurnya)
Nicky :Nyamber aja kerja kau, Des. Kau bilang udah mau tobat mulai
bulan depan, eh ... kebiasaan nyamber nggak juga kau kurangin.
Desi :(masih memakan esnya) Pertama,
(menunjukkan jari telunjuknya)Bulan depan masih lama.
Nura :Dan ... kedua?
Desi :Bulan depan masih lama.
Nura :Huuu... Dasar orang pelit. Alasannya juga pake pelit. Dasar
pelit lo itu udah bawaan orok kali....
Nicky :Tunggu...! Tunggu...! Lebih baik, bakat berantem kalian
disalurkan di arena aja, deh, jangan di sini.
Desi :Enggak deh enggak.
Nura :Huh...
Nicky :Sekarang, kamu jelasin deh, Ra... sebenarnya maksud kamu tadi
apa.
Nura : Oke......Ehm...
Desi : Pan sudah aye bilang....
Nura :Ssst...!(menyilangkan jarinya
tepat di depan hidung Desi.(
Desi :Ih muncrat..
Nura : Makanya, udah deh.. gini Nick, maksud gue,lo harus mengemas
dakwah lo sebaik mungkin. Bekal semangat aja tidak cukup. Berilah
daya pikat pada dakwah tersebut.
Nicky : Dengan?
Desi : Plastik yang baik...! (terkekeh)
Nura : (tepuk tangan) Tepat...!
Desi : Ha?? (bingung)
Nikcy : Aku? (menunjuk dirinya sendiri)
Nura : Kemasan lo harus lebih menarik. Penampilan, Nick....!
Nikcy : Maksud kamu,aku kudu dandan,gitu?
Nura : Bukan dandan, Nick. Memangnya penampilan itu hanya sekadar
berdandan aja? Banyak hal lain. Contoh gampang aja, kerapian.
Desi : Betul, Nick...! Di mana-mana, barang yang diplastikin itu
lebih terlihat rapi. Ya, Ra?
Nura : (melirik Desi) Lo ngebaik-baikin gue pasti lo punya maksud
lain, deh. . .!
Nikcy : Udaaah. . .
Nura : Iya, ini juga udah. Eh, kembali ke masalah kerapian tadi,
Nick. Yaaa... ini gua ngomong sebagai temen, artinya bener-bener
karena gue pengin lo perbaikin kesalahan lo.
Nicky : Kesalahan apa? Kamu bilang jujur aja deh sama aku. Pake
basa-basi kamu ngalahin orang Solo.
Nura : Oke, tapi lo janji nggak marah,ya?
Nicky : Lho, emangnya selama ini kamu penah lihat aku marah?
Nura : Brrr...!
Desi : Hiiiyy....!
Apa yang dibilang
Nura memang benar. Paling tidak, Nicky terus memikirkannya malam itu.
Kerapian. Hal yang tak pernah dipikirkannya selama ini.
Ibu : Tata yang bener piringnya, Nik.
Nicky : (tidak menghiraukan) ah nanti
juga berantakan lagi (beucap dalam hati)
Ibu : Niken, kamu nggak nyetrika
seragam sekolah?
Nicky : Nggak begitu kusut kok, Bu. Nick sekarang mau ngajar TPA,
kasihan nggak ada orang. Lagian kusut atau tidaknya baju Nick, tidak
akan mengurangi semangat Nick buat belajar.
Ibu : (mengangkat alis) Ooooo....
Sejak dua bulan lalu, Nicky memakai
jilbab setelah sebelumnya ia tertarik untuk terlibat aktif dalam
kegiatan Rohis sekolahnya. Seperti biasa, sang ibu hanya menyerahkan
keputusan itu pada Nicky.
*Flashback on*
Ibu : Kamu sudah pikirkan pilihanmu?
Nicky : Sudah, Bu. Hasilnya tidak ada
alasan bagi Nick untuk tidak memakai jilbab.
Ibu : Baiklah. . . Ibu bisa mengerti.
Nicky : Hanya itu? (alisnya terangkat
bingung) Kok, sepertinya Ibu kurang suka?
Ibu : (melirik Nicky sebentar lalu melanjutkan melipat bajunya)
Jangan lantas disimpulkan begitu. Orang tua mana yang tidak suka
kalau anaknya melaksanakan perintah agama?
Nicky : Tapi. .
Ibu : Tapi . . Ibu hanya ingin wanti-wanti bahwa kau harus menjaga
citra jilbabmu itu kalau kau memang sudah memutuskan untuk
memakainya. Pertama, kau tak bisa seenaknya buka tutup jilbab. Kau
tak boleh melepaskannya lagi kalau sebulan kemudian kau merasa bosan
dan memakainya lagi pada saat kau suka.
Nicky : Tentu saja tidak.Saya kan tidak
memakai jilbab karena mengikuti tren, tetapi....
Ibu : Itu bagus. Artinya, kau menyadari hal ini sebelum kau
memutuskan. Kalau kau sudah putuskan memakai jilbab, kau juga harus
memperbaiki sikapmu agar tidak membuat citra buruk bagi orang
berjilbab.
Nicky : (mendengus)
Ibu : Pertama, (sambil tetap melipat baju) Kau tidak lagi boleh
tertawa lebar sembarangan. Kedua, kau harus mengurangi kebiasaanmu
shalat ditunda-tunda. . .
Nicky : Kenapa? Pertama, tertawa itu bukan hal yang dilarang agama,
dan kedua, tentang menunda shalat itu..... karena.....
Ibu : (tersenyum menatap Nicky lalu bangkit dengan mengangkat
setumpuk baju) Bantu Ibu merapikan kamar, yuk....!
*Flashback off*
Hari itu, Nicky
berinisiatif untuk berdiskusi dengan ibunya tentang surat dari Dewa
Mabuk –sebutan untuk Dewa yang diketahui orang yangmengirim surat
itu- tapi tentu saja dia tidak menunjukkan surat itu pada ibunya
karena Nicky malu. Sepulang Nick dari sekolah, seperti biasa, ia
membantu ibunya menyelesaikan pesanan bedcover sebuah toko
meubel.
Nicky : Ibu..
Ibu : ya?
Nicky : Apa benar seorang muslim atau muslimah itu harus rapi, Bu?
Allah kan tidak menilai seseorang dari penampilannya tetapi dari amal
ibadahnya.
Ibu : Tentu saja seorang muslim itu dituntut untuk rapi, Nick...!
Nicky : Tapi, apa itu tidak berlebihan, Bu? Islam itu kan mudah.
Kenapa harus dibuat sulit atas nama jilbab, dakwah dan sebagainya?
Kalau beban seorang jilbaber harus seberat itu; tampil anteng,
bersih, rapi, indah... apakah itu tidak justru mengendurkan niat
orang-orang untuk berjilbab? Ayat dan hadistnya kan jelas jilbab,
pakaian yang menutup aurat, tanpa embel-embel bersih dari kotor dan
noda, disetrika sampai licin macem jalan tol. Lagipula masalah rapi
atau indah itu kan sesuatu yang relatif, nomor-nomor tidak terukur
dan tak ada batasan yang jelas untuk masing-masing orang. Apalagi,
rincianya tidak disebutkan dalam hadist ataupun ayat Al-Quran.
Misalnya yang rapi itu mana dan yang nggak rapi itu yang mana.
Ibu : Ah masa? Kan ada hadist tentang Allah itu indah dan menyukai
keindahan, tentang anjuran Rasulullah pada seorang istri agar
merapikan diri di hadapan suami supaya sejuk dipandang.
Nicky : Nah.... itulah, Bu. Muslimah memang diwajibkan tampil cantik
di hadapan suaminya. Tapi jangan sampai salah penempatan. Memang
dianjurkan berdandan di dalam rumah. Memang dianjurkan memakai
wangi-wangian saat duduk bersama suami. Tapi, bukankah bila keluar ia
bisa mengundang fitnah dan derajatnya sama dengan wanita pezina? Ada
beberapa hal yang hanya berlaku dalam keluarga dan tidak untuk semua
tempat. Ini yang sering dipukul rata.
Ibu : Bukan terus diartikan begitu, Nik. (berusaha menurunkan
suaranya) Hal pertama yang merugikan apalagi seorang muslimah apalagi
aktivis dakwah tampil alakadarnya, adalah kesan bahwa Islam tidak
menghargai kerapian dan penampilan. Islam itu nyaris disamakan dengan
kekumuhan dan kemasabodohan. Hal kedua, orang akan tidak bersimpati
pada orang tersebut karena semau gue dan terkesan tidak peduli pada
diri sendiri. Kan ada, tuh, lagu zaman dulu yang syairnya begini :
bagaimana kau menyayangiku sedang dirimu tak kau sayang. Mabuk
lagiii.......
Nicky : (manyun) Ibu... kan Islam menganjurkan untuk melihat apa yang
disampaikan dan bukan siapa yang menyampaikan?
Ibu : (menghela napas) Sudahlah. Sebaiknya kembalikan saja pada
hatimu. Semua amal itu kan kembali pada niat. Termasuk niat kamu
untuk tidak pelu tampil rapi itu. Kalau alasanmu itu untuk menjaga
diri dari fitnah, maka kamu akan mendapat pahala darinya. Tapi kalau
niatmu karena cuek dan masa bodoh apalagi karena malas, maka kau akan
mendapat balasan darinya pula.
Ternyata, ucapan
Ibu yang sederhana itu cukup telak mengena di hati Nick. Entahlah, ia
mulai merasa ucapan orang tuanya itu benar adanya bahwa alasan yang
lebih tepat untuk hatinya adalah apa yang disebut terakhir oleh Ibu.
Saat disekolah, ia bertemu dengan Nura.
Nicky : Pertama, aku memang kudu
memperhatikan kerapian.
Nura : Yes...! Horeee...! Artinya, gua
nggak perlu kuatir lagi kalau lo pinjem buku gue.
Nicky : Apa?
Nura : Lo tahu tidak? Gue tuh sebenernya sebel ama lo gara-gara
kemarin lo pinjem novel Islami milik gue. Itu buku baru gue beli.
Belum ada yang pinjem selain lo, jadi jelas modal gue belum balik.
Nicky : Hubungannya?
Nura : Lah... lo pura-pura nggak ngerti lagi. Pan lo tahu sendiri,
itu buku udah dekil gara-gara jatuh ke tangan lo.
Nicky : (tertegun) Je-elahh... Tapi...
Nura : Sudahlah! Gue tahu lo mau minta maaf. Gue udah maafin karena
gue tahu lo sahabat gue. Cumaaa.....
Nicky : Iya, aku ngerti.
Nura : (tersenyum dan mengacungkan
jempolnya)
Sejak hari itu,
Nicky berusaha lebih jeli memperhatikan kerapian. Ia semakin rewel
memperhatikan kerapian.Ia semakin rewel dengan setrikaan, dengan noda
tinta pada saku baju, pada noda saos pada lengan atau ujung
jilbabnya, dengan coretan-coretan tidak proporsional pada pinggir
buku catatannya ataupun mejanya di sekolah.
Esoknya
Nura : Eh, lo dapat surat lagi??
Nicky : Iya. (mulai membuka suratnya)
Nura : Bacain, bacain...
Nicky : ...... Nick Sayang... Kau tahu tentang kebun bunga yang
tiba-tiba diboyong ke podium oleh seorang daiyah tempo hari? Ha??
(mendekatkan surat itu ke wajahnya ) surat kali ini cukup tebal dan
membingungkan juga.
Nura : Haha.. Woi... Dewa Mabuk itu punya foto lo, Nick...! (menunjuk
sebuah gambar)
Nicky : Ini kan waktu aku ngisi acara mentoring untuk adik tingkatku
dia aula sekolah. Kebun bunga? (lalu memperhatikan fotomya yang ada
di lembaran itu)
Desi : Hahahaha.....!
Nura : Jadi karena itu?
Desi : Iye, waktu ngisi acara, Nicky pakai gamis bermotif bunga mawar
kecil-kecil yang tengah mekar segar, merah menyala di beberapa
bagian. Lalu roknya bak dua kapling bunga berdampingan karena rok itu
bermotif kembang ceplok bunga alamanda dengan dasar krem. Kelopak
alamanda bewarna kuning itu terpangpang besar-besar dan jarang-jarang
di seluruh permukaan.
Nicky : Tapi..... (tercekat)
Desi : Untung nggak ada yang punya inisiatif menyiram bunga itu agar
tetap segar ya, Nick?
Nicky : Tapi.... siapa gerangan si Dewa Mabuk itu?
Nura : Yup. Padahal, acara ini hanya khusus putri, kan?
Nura : Mungkin dia menyamar menjadi....
Desi : Spiderman...!
Sejak hari itu
Nick tak mau lagi mengenakan pakaian dengan motif bunganya. Ia kini
getol mengajak Nura dan Desi ke pasar untuk membeli pakaian dengan
warna-warna polos, tanpa motif.
Nura : Lo suka bener warna-warna terang
begini, Nick...?
Nicky : Bukannya seneng yang seger-seger begitu, Nur. Cuma, apa nggak
bosen kalau semua warna pucat pastel seperti saran kamu?
Desi : Dia males gua komentari
Nura : Ah lo emang nyebelin sih. Emang
ngomentari apaan?
Desi : Gua bilang kehabisan bahan pewarna, ya, Nick? Baju lo coklat
susu, bawahannya coklat kayu, dan jilbabnya coklat kardus. Kulit lo
aja yang coklat gosong. Kalo lo berdiri di samping tumpukan kardus,
lo udah nggak ada bedanya, deh.....
Nura : (melongo)Ah dasar lo itu!
Nicky : Sebenernya aku sudah capek diledek-ledek. Apalagi kalau
datang surat dari Dewa yang seperti wasit busanaku. Selalu saja ada
yang dicela. Sesekali memuji dikit emangnya kenapa, sih?
Nura : Perhatian dia berarti.. haha..
Desi : Hahahahaha....!
Nura : Ssstt!!!
Sebulan kemudian, surat dari Dewa itu
datang lagi.
Nicky : Apalagi sekarang?
Nura : Yaudah dibaca aja..
Desi : loo, mana.........
Nicky : Nona Spiderman yang baik ... semakin hari, aku semakin bangga
padamu. Aku melihat potensi besar pada dirimu, yakni potensi untuk
menjadi orang besar.
Desi : Kiikkkiik
Nura : Sssstt! Ah! Ni anak! Lo kenapa pake ketawa mengguncang dunia
begitu? Kemarin lo bilang bulan depan masih lama. Sekarang itu nggak
bisa lo pake jadi alasan.
Desi : Ra, gimana gua nggak ketawa, coba? Ini ... yang bener aja!
Nona Spiderman? Spidergirl, kali? Eh, bukan. .. Spiderwoman, diing
...!
Nicky : Sudahlah ...! Apa yang ditulis Dewa Mabuk itu memang bener.
Nura : O-o? Maksud lo?(bengong)
Desi : Ya ... benar kalau Nicky ini Spiderman ... eh, Spider apa, ya?
Nura : Kebiasaan lo nyamber harusnya udah kena seprit, dah..! Ngasih
kesempatan orang lain bicara ngapa? Bulan depan tinggal dua hari lo
masih juga belum belajar tobat.
Desi : Yeee...!
Nicky : Ya...! kalimat Dewa itu memang benar. Aku memang berpotensi
menjadi orang besar.
Nura : (menganga)
Desi : (menganga)
Nura : Tapi, gue masih curiga sama
julukan Nona Spider itu, Nick. Maksudnya apa sih?
Nicky : Mungkin... maksudnya aku ini
orang yang hebat, kayak Spiderman juga kan hebat, tuh..!
Nura : Ah, lo bisa-bisanya ngarang aja, deh, Lo tahu nggak? Tumben lo
nggak nyamber-nyamber lagi?
Nicky : Ada apa, sih? (bingung karena
tiba-tiba Desi mengamati wajahnya)
Desi : Sebentar. Coba... kalau misalnya di wajah lo itu ada
kerut-kerut begitu... ya, benar begitu. Terus, umpamanya kerut-kerut
itu seperti garis-garis, atau ... eh, iya, garis-garis aja.
Terus,coba paduin sama foto lo yang di scan si Dewa di dalam surat
itu.
Desi tampak serius. Tangannya terangkat
dengan gerakan yang tidak teratur. Dua pasang mata itu segera memburu
gambar kabur yang dicetak dengan tinta murahan oleh Dewa. Ya...
tepat. Seorang gadis dengan gamis bewarna biru terang dan jilbab
merah menyala tengah berdiri di atas podium. Tangan kanannya terkepal
dan diangkat seperti tengah meneriakkan: Allahu Akbar...!
Nura : Apaan sih ini?
Nicky : Ada hungungannya kah?
Desi : Seharusnya kan dari sini keluar
jaring ya, Nick.
Nicky : Apa? Jadiiii....
Nura : Ya ampun, lo spidermannya??
Nura :Eh.. tapi, siapa sebenarnya si
Dewa Mabuk itu?
Desi : (mendehem) Ehm. . . Yah, Spiderman kan nggak diwajibkan untuk
selalu mengetahui siapa musuhnya. (lalu bersiul tanpa suara)
*********
Sapphire Blue

Everlasting Friend
ane masih bingung gan -_-
tinggal dijadikan dialog sambil diimprovisasi juga